Pesantren Reyot Pencetak Ahli Kitab Kuning
Oase ImanDi depan pintu masuk gubuk tersebut, berpasang-pasang sandal tersusun berjejer dengan rapi. Pemilik dari berpasang-pasang sandal tersebut sedang sibuk di dalam gubuk.
Di hadapan para pemilik sandal itu, sebuah kitab terbuka. Tulisannya pakai huruf Arab, tapi tanpa harakat atau tanda baca, lazim disebut dengan tulisan Arab gundul.
Muhammad Amir Hamzah duduk di jejeran para santri. Ia terlihat sedang asyik dengan kitab Fathul Qarib karya Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghazzi. Meskipun tulisan di dalam kitab tersebut adalah tulisan Arab gundul, Amir tetap lancar membaca dan menerjemahkannya.
Amir menjabarkan i’rab, perubahan harakat di akhir kalimat. Terkadang melafalkan maraji’-nya. Sangat lihai, padahal usianya baru 12 tahun. Kelihaian Amir membaca Arab gundul bukan didapat dengan mudah dan singkat. Bocah 12 tahun yang berasal dari Pulau Karimun Jawa itu sudah menimba ilmu lughoh di pesantren yang berlokasi di Grobogan, Jawa Tengah, itu selama sembilan bulan.
Namun, Amir memang tergolong santri yang cerdas. Kemampuannya dalam membaca dan menerjemahkan kitab tersebut itu berkembang pesat. Para santri pada umumnya membutuhkan waktu minimal tiga tahun agar dapat menjelajahi isi kitab kuning, sebutan lain kitab rujukan keilmuan Islam.
Kemampuan Amir tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran didikan Kiai Amin Fauzan Badri. Setiap pagi, tiap santri harus belajar ‘privat’. Setiap santri belajar “empat mata” dengan sang kiai selama minimal satu jam. Tidak boleh kurang.
“Di sini tidak ada masa pengajian bersama-sama dimulai. Kalau hari ini ada santri datang, berarti besok pagi dia mulai belajar. Jadi, antara satu santri dengan santri lainnya, mulainya beda dan khatamnya juga beda,” kata Kiai Amin kepada kemenag.go.id.
Teknik belajar kitab Arab gundul Kiai Amin ini dikenal dengan nama Al-Iktishor. Kiai Amin ingin berbagi pengalaman merumuskan cara membaca kitab Arab gundul.
“Saya berfikir, bahwa membaca kitab itu mestinya mudah, karena susunan dalam bahasa Arab itu hanya berupa Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah. Jika dua Jumlah ini dikuasai, semua akan jadi mudah,” kata dia.
Awalnya akan dipelajari pokok susunannya berupa jumlah ismiyah dan fi’liyah. Kemudian selanjutnya dipelajari pelengkapnya, yaitu jar-majrur, fi’il-fail, maf’ul bih, maf’ul muthlaq, dan lain-lainnya.
Kisah Kiai Amin membuat kitab Al-Ikhtisor terbilang cukup menyentuh dan perjuangan yang keras. Awalnya, Kiai Amin menyusun kitab itu dengan penuh perjuangan. Usai men-tashih-kan ke gurunya di Pesantren Mathaliul Fataah, Kajen, Margoyoso, Pati, Kiai Amin muda merasakan kegundahan. Kegundahan yang dirasakan tersebut dikarenakan sang guru meminta Kiai Amin membuka buku catatan Al-Ikhtisor di rumahnya. Kiai Amin pun terlarang membukanya di jalan.
Sesampai di rumah, Kiai Amin terkejut. Semua tulisan tangannya digores tinta merah oleh sang guru yang menandakan bahwa pekerjaan itu salah semua. Akibatnya, Kiai Amin pun sempat patah semangat dan berencana tidak melanjutkan penyusunan kitab itu.
Akan tetapi, ada satu kalimat yang ditulis gurunya di halaman akhir catatan Al-Ikhtisor. Kalimat itu mengurungkan keinginan Kiai Amir menyerah.
” Ada tulisan tangan guru saya tadi, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil,” ucap dia.
Semangat inilah yang dia tularkan kepada para santrinya walaupun kondisi fisik pesantren jauh dari memadai.
sumber : ngelmu
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>