Dahsyatnya Panggilan Sayang

Dahsyatnya Panggilan Sayang

Dahsyatnya panggilan SAYANG

 Bismillahirrahmanirrahim
“Hallo selamat pagi, sayang?”. Bukankah kalimat tersebut terdengar manis dan hangat di telinga Anda? Panggilan “Sayang”, menurut peneliti, memiliki efek positif signifikan di otak wanita.

Panggilan mesra tersebut efektif dalam melepas hormon oksitosin di tubuh wanita yang menghasilkan perasaan bahagia dan hangat.
Selain itu, wanita yang sering dipanggil “Sayang”, ditemukan jarang mengalami stres dan lebih ikhlas dalam menghadapi segala tantangan hidup.

Oleh karena itu, “Sayang” dianggap sebagai kata positif yang memberikan dampak baik pada wanita. Menurut paparan di Psychology Today, panggilan “Sayang” pada wanita menciptakan perasaan aman dan nyaman. Mereka pun jadi lebih percaya diri dalam beraktivitas.

“Sensasi sensual dibalik panggilan ‘Sayang’ menciptakan dopamine yang membuat kecanduan mendengar panggilan tersebut. Lalu, efek neurochemicals seperti oksitosin dan vasotosin, hormon cinta, membantu pasangan untuk membangun hubungan yang penuh cinta, kasih, dan loyalitas,” jelas laporan Psychology Today.

Berdasarkan Tech Knowledge, kata-kata positif dan negatif, memiliki efek terhadap energy tubuh, termasuk semangat dan motivasi.

Orang yang sering mendengar kata “Tidak” cenderung lebih mudah stres, ketimbang mereka yang mendengar kata “Ya” dan “Sayang”.

Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Harvard Law School mempelajari efek dari kata positif dan negatif.

Menurut studi, gambar-gambar indah yang disertakan kata negatif, akan memberikan pengaruh buruk pada pilihan orang yang melihatnya.

Oleh karena itu, banyak karyawan profesional yang sangat berhati-hati dalam pemilihan kata untuk materi presentasi. Mereka menghindari menggunakan kata negatif, dan menggantinya dengan kata penolakan yang lebih diplomatis.

Wallahu'alam
By. Abah Roqy
Tips Untuk Anak Yang Gemar Menggunakan Medsos

Tips Untuk Anak Yang Gemar Menggunakan Medsos



Mari kita periksa sembilan hal ini bersama anak Anda ketika menggunakan media sosial;

    Jangan Unggah Informasi Pribadi ke Publik

Informasi seperti lokasi mereka dan informasi pribadi tidak harus ditempatkan di internet kecuali mereka ingin menjadi korban kejahatan. Meskipun sekedar berbagi lokasi sebuah kafe di Instagram, akan lebih baik itu dilakukan setelah mereka meninggalkan kafe itu.

    Jangan Sebarkan Informasi Palsu (Hoax)

Di bawah UU Telekomunikasi (ITE), Anda bisa didenda hingga pidana penjara enam tahun dan denda Rp1 miliar karena menyebarkan informasi palsu. Menyebarkan informasi tentang ancaman bom di sekolah misalnya dapat membuat anak Anda dipenjara!


 
  Bersikap Sopan Walau Berbeda Pendapat

Jika seorang pengguna lain menggunakan kata-kata vulgar, nasihatkan anak Anda untuk tidak beradu mulut. Mereka bisa saja melarang siapa saja untuk berinteraksi dengan mereka.

    Jangan Mempermalukan Sahabat Sendiri

Ingatkan anak Anda untuk tidak mempermalukan rekan sendiri.

Mereka tidak memiliki kontrol penuh untuk memadamkan informasi pribadi di Internet. Meskipun mereka sudah menutup gambar atau video. Ingat!  Orang lain mungkin sudah menyimpan salinan gambar itu.

    Bertanggungjawab

Apa yang dianggap satu hal yang lucu mungkin membawa efek mendalam pada masa depan. Lebih baik untuk anak Anda tidak menyuarakan pendapat mereka sendiri jika hal itu menjadi kondisi yang tidak dapat dikontrol.

    Hormati Perbedaan PendapatJangan menggunakan kata-kata kasar, meledek, menghina ras atau suku. Setiap kata-kata seperti itu lebih banyak memicu kekerasan atau kegelisahan – dan dapat mengantar penulisnya ke meja hukum.


    Tunjukkan Rasa Ihsan

Ajar anak Anda kita tentang sifat belas kasih (ihsan) dan berbuat baik. Ini karena apa yang dikatakan mereka mungkin membawa maksud yang berbeda kepada orang lain dan dapat menggores hubungan mereka.

    Tidak Perlu Bersalah ‘Memblock’ Akun Orang Lain

Tidak salah untuk mereka melarang atau ‘mem-block’ akun/pengguna lain meski membuat mereka merasa tidak senang. Ketika teman-teman mereka mengganggu mereka atau orang tidak dikenal menggunakan kalimat-kalimat berunsur seksual, kekerasan, ejekkan, tidak perlu bersalah, bahkan jika perlu di’block’ saja mereka.

    Sebarkan Hal Positif

Kata-kata ajak kebaikan, kata-kata positif, akan jauh lebih berarti daripada mengeluh tentang pekerjaan sekolah, perasaan galau, atau mengeluh segala urusan pribadi kita melalui medsos.  Semakin banyak galau dan mengeluh, justru akan mengundang ‘penjahat cyber’ mendatangi anak kita!

sumber : Hidayatullah
Qatar Benteng Melawan Dajjal di Timur Tengah

Qatar Benteng Melawan Dajjal di Timur Tengah

Qatar

Qatar, negara pulau mungil di Timur Tengah, sekarang tengah diblokade oleh Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan rezim-rezim Arab sekutu Amerika dan Zionis Israel. Negara-negara Arab antek Zionis itu marah terhadap Qatar, yang membuka negaranya untuk menjadi suaka ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam.

Qatar memang saat ini menampung banyak ulama-ulama yang lurus yang diburu rezim-rezim Arab. Termasuk diantara ulama ini adalah Dr Yusuf Qaradhawi. Qatar juga mengizinkan pejuang-pejuang Hamas dari Palestina untuk tinggal di negaranya dan bahkan konsisten membantu secara finansial pemerintah Hamas di Jalur Gaza.


Tidak cuma itu, Qatar juga menampung banyak aktivis Ikhwanul Muslimin yg sekarang diburu oleh rezim As Sisi yg bengis dan kejam. Ketika Presiden Mohammad Mursi dari IM berkuasa, Qatar adalah negara pertama dan paling banyak membantu pemerintah Mursi dengan bantuan keuangan.

Tidak banyak yang tahu, Dinasti Emir Tamim bin Hamad Al Thani yg berkuasa di Qatar sekarang berasal dari Bani Tamim. Ini bukan saja salah satu kabilah atau klan Arab terbesar, tetapi juga klan sahabat Rasullullah, Abu Bakar As Siddiq. Bani Tamim juga salah satu klan yang dicintai Rasulullah SAW dan kabilah yang akan mendukung Imam Mahdi melawan Dajjal.

Berikut hadits-haditsnya:

Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW telah mengambil tangan Ali RA dan bersabda: “Akan keluar dari sulbi pemuda ini (Ali) yang memenuhi dunia dengan keadilan (Imam Mahdi). Bilamana kamu melihat yang demikian itu, maka wajib kamu mencari Putera dari Bani Tamim, dia datang dari sebelah Timur dan dia adalah pemegang panji-panji Al Mahdi” (HR. Tabrani)

Dari Abu Hurairah RA dia berkata; Saya akan senantiasa mencintai Bani Tamim, karena tiga hal yang pernah saya mendengar dari Rasulullah SAW tentang mereka: Pertama, saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Mereka (Bani Tamim) adalah umatku yang paling gigih melawan Dajjal.’ Kedua, ada seorang tawanan perempuan dari Bani Tamim di rumah Aisyah. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Hai Aisyah, bebaskanlah ia! Karena ia adalah keturunan Ismail.’ Ketiga, Rasulullah SAW pernah bersabda ketika ada zakat dari Bani Tamim: ‘Ini adalah zakat kaum kami.’ (HR. Bukhari)


Ikrimah RA berkata; seorang lelaki sahabat Nabi SAW menceritakan kepadaku, bahwa pernah Bani Tamim disebut-sebut di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba seorang laki-laki berkata; “Suku dari Bani Tamim ini berlambat-lambat dalam perkara ini (zakat).” Rasulullah SAW kemudian memandang ke arah lelaki suku Muzainah itu seraya berkata: “Mereka (Bani Tamim) tidak lebih lambat dari kalian.” Suatu hari seorang laki-laki juga pernah berkata, “Mereka dari suku Bani Tamim itu lamban dalam memberikan sedekahnya.” Ikrimah melanjutkan, “Maka datanglah unta dan kain indah milik suku Bani Tamim. Rasulullah SAW lantas bersabda: ‘Ini adalah unta kaumku.’ Kemudian suatu hari ada seorang laki-laki dari suku Bani Tamim berada di sisi Rasulullah SAW, beliau lalu bersabda: “Janganlah kalian katakan sesuatu kepada Bani Tamim kecuali yang baik, sebab mereka adalah orang-orang yang lemparannya paling jauh kepada Dajjal.” (HR. Ahmad)

Adakah blokade kepada Dinasti Bani Tamim di Qatar menjadi salah satu tanda-tanda mendekatnya Yaumus Sa’ah (hari Kiamat)? Wallahu ‘alam.

*sumber : www.ngelmu.id
  sumber foto : visitqatar            
Arab Saudi Akan Bangun Kota Hiburan Ramah Syariah

Arab Saudi Akan Bangun Kota Hiburan Ramah Syariah


Arab Saudi dilaporkan bakal membangun sebuah kota hiburan umum berkonsepkan taat syariah di selatan ibu kota Riyadh, yang diperkirakan seluas Jakarta.

Kantor berita BBC melaporkan, area yang akan dibangun seluas 334 kilometer persegi  yang akan menawarkan berbagai kegiatan rekreasi keluarga sekaligus menjadi tempat liburan baru warga Riyadh.

Proyek itu merupakan antara rencana besar pembangunan ‘Visi 2030’ sebagaimana diumumkan Putera Mahkota Mohammad Bin Salman al-Saud tahun lalu untuk meragamkan ekonomi tanpa tergantung industri minyak.

Lokasi ini nanti akan menawarkan beragam kegiatan, seperti kebudayaan, olahraga, dan hiburan, termasuk taman rekreasi dengan wahana permainan serta taman safari.

Pembangunan kota yang digadang-gadang sebagai yang pertama di dunia itu akan dimulai awal tahun depan, sedangkan tahap pertamanya dijadwalkan rampung 2022 mendatang.

Pembangunan kota hiburan itu dijadwalkan dimulai awal tahun depan dan diharapkan selesai pada tahun 2022.

Pemerintah setempat berharap keberadaan kota hiburan ramah syariah itu tidak hanya menarik pengunjung, bahkan diharap dapat mendorong kehidupan sehat, aktivitas seimbang dan keceriaan bagi warga ibu kota.

Ini seperti saat ini, warga Riyadh tidak ada banyak tempat hiburan keluarga kecuali Pusat Sejarah Raja Abdul Aziz yang berisi berbagai museum selain kompleks stadion Raja Fahd.

Para pejabat Saudi berharap kota hiburan itu tak hanya menarik pengunjung, tapi juga mendorong kehidupan yang sehat, seimbang, dan menyediakan lebih banyak hiburan, keceriaan, dan kesenangan bagi penduduk ibu kota.*

sumber : Hidayatullah
eBook Ruqyah

eBook Ruqyah

 ebook pengobatan sihir
Ruqyah syar’iyyah bukan hal yang baru dalam islam, ia adalah sunnah yang hampir punah. Banyak yang mengira ruqyah itu adalah bagian dari hal mistik dan tabu, sulit dan meragukan pengaruhnya pada kesehatan ummat, padahal ia adalah senjata dan kemudahan dari Allah untuk menuntaskan belenggu sihir yang mengikat kaum mukminin di muka bumi ini.

Banyak praktisi yang gagal membahagiakan pasiennya dengan hadiah kesembuhan permanent, karena
mengabaikan hal-ha kecil yang justru menjadi rahasia kesuksesan dalam ruqyah. Setelah lepas dari perdukunan, banyak ummat terjebak antrian di klinik-klinik ruqyah dan kecanduan ustadz yang dianggapnya sang penolong.

Buku ini, mengajak anda berfikir dan meracik senjata sendiri untuk meluluhlantakkan sihir yang mencuri kebahagiaan keluarga dan kehidupan anda.

Ebook Ruqyah Syar'iyyah
Buku ini, mengajak anda berfikir dan meracik senjata sendiri untuk meluluhlantakkan sihir

yang mencuri kebahagiaan keluarga dan kehidupan Anda..
Download Disini
Ruqyah Syar'iyyah
Terapi Gangguan Jin
Terapi Gangguan Sihir
Thibbun Nabawi
Pengobatan Sunnah
Geliat Dakwah Islam di Bumi Tajikistan

Geliat Dakwah Islam di Bumi Tajikistan

Bumi Tajik. Begitulah Tajikistan, sebuah negara di Asia Tengah, itu biasa disebut. Istilah Tajik muncul pada abad ke-11 masehi.

Saat itu, orang-orang Turki menyebut masyarakat yang berbahasa Persia di wilayah itu dengan sebutan Tajik. Secara bahasa, Tajik juga berarti orang Persia.

Republik Tajikistan terletak di sebuah daratan yang terkurung pegunungan di Asia Tengah. Di bagian selatan berbatasan dengan Afghanistan, di ujung barat bertetangga dengan Uzbekistan, di sebelah utara berdekatan dengan Kyrgystan, dan di ujang timur berdampingan dengan Republik Rakyat Cina (RRC).


Negara yang memproklamasikan kemerdekaan pada 9 September 1991 itu mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurut data Pew Research Center, jumlah Muslim di Tajikistan mencapai 5,84 juta jiwa atau sekitar 84,1 persen dari total populasi negara itu.

Namun, menurut data pada laman resmi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, jumlah pemeluk Islam di Tajikistan mencapai 95 persen, 3 persen beragama syiah ismailiyah, dan sisanya pemeluk agama lainnya.

Tajikistan adalah negara sekuler yang menghormati kebebasan beragama. Seperti halnya di Indonesia, dua hari raya besar Islam, yakni Idul Fitri dan Idul Adha, diperingati kaum Muslim di negara itu dan menjadi hari libur nasional. (eramuslim)
Umur Para Nabi

Umur Para Nabi

25 Nabi dan Rasul 'alaihimussalam

Sebenarnya harus jujur diakui bahwa masih banyak di antara kita tidak hafal nama-nama beserta urutan para nabi dan rasul yang wajib diketahui dan dimani. Iman itu cinta. Nah, gimana kita akan mencintai mereka, kalau kenal aja belum. Untuk itu, mari kita berkenalan satu-satu dengan mereka secara singkat.

1. Nabi Adam as.
Beliau adalah moyang manusia. Bapak kita semua. Jadi apapun bentuk rupa, jenis kulit, dan bahasa kita, yang pasti kita ini bersaudara. Hidup di Dunia selama 1000 tahun. Para ulama berselisih tentang tempat dikebumikannya, ada yang menyebutnya di India, Mekkah dan Baitul Maqdis.

2. Nabi Idris as. 
Nama lainnya Akhnuj.
Hidup di Dunia selama 865 tahun.

3. Nabi Nuh as. 
Disebut sebagai guru para nabi.
Umurnya 950 tahun. Dikuburkan di Kufah. Tapi ada juga yang menyebutnya di Bukit Merah dan Baitul Maqdis.

4. Nabi Hud as. 
Nama lainnya 'Abir.
Umurnya 464 tahu. Dikuburkan di Hadhramaut, Yaman Selatan.

5. Nabi Shaleh as.
Belum ditemukan riwayat yang menyebutkan usianya. Kuburnya pun tidak jelas. Tapi ada yang menyebutnya di Hadhramaut.

6. Nabi Luth as.
Juga tak ada riwayat yang menyebutkan usianya. Dikuburkan di Shu'ir, Irak.

7. Nabi Ibrahim as. 
Disebut sebagai bapak para nabi.
Umurnya 200 tahun. Kuburnya di Khalil, Palestina, berdampingan dengan kubur istri pertamanya, Siti Sarah.

8. Nabi Ismail as.
Berusia 137 tahun. Kuburnya di Mekkah, berdampingan dengan kubur ibunya, Siti Hajar.

9. Nabi Ishaq as.
Berusia 180 tahun. Dikuburkan disamping ayahnya, Nabi Ibrahim dan ibunya, Siti Sarah di Khalil, Palestina.

10. Nabi Ya'qub as.
Nama lainnya Israel.
Berumur 147 tahun. Meninggal di Mesir. Tapi anaknya, Yusuf as memakamkannya di Khalil, Palestina sesuai dengan wasiat ayahnya.

11. Nabi Yusuf as.
Umurnya 100 tahun. Meninggal di Mesir, tapi dikuburkan di Nablas, Palestina sesuai wasiatnya.

12. Nabi Syuaib as.
Tidak jelas berapa umurnya. Dikuburkan di Hiththin, Palestina.

13. Nabi Ayyub as.
Berumur 93 tahun. Dikuburkan di Damsyiq, Siria.

14. Nabi Dzulkifli as.
Tidak jelas berapa usianya. Dikuburkan di Siria.

15. Nabi Yunus as.
Tidak jelas juga berapa usianya. Tidak diketahui juga dikuburkan dimana.

16. Nabi Musa as.
Umurnya 120 tahun. Dikuburkan di Tursina, Mesir.

17. Nabi Harun as.
Berumur 122 tahun. Dibukurkan di Tursina, Mesir juga.

18. Nabi Ilyas as.
Tidak ada riwayat yang menyebutkan umurnya. Dikuburkan di Libanon.

19. Nabi Ilyasa' as.
Tidak ada riwayat yang menyebutkan umurnya dan dimana dikuburkan.

20. Nabi Dawud as.
Berumur 100 tahun. Menjadi raja selama 40 tahun. Tidak disebutkan dimana kuburnya.

21. Nabi Sulaiman as.
Berumur 52 tahun. Mewarisi kerajaan ayahnya, Dawud pada umur 12 tahun. Menjadi raja juga selama 40 tahun. Tidak disebutkan dimana kuburnya.

22. Nabi Zakaria as.
Berusia 150 tahun. Tidak disebutkan dimana dikuburkan.

23. Nabi Yahya as.
Lahir pada tahun yang sama dengan Nabi Isa as. Tidak disebutkan umurnya. Ia disembelih oleh sekelompok orang suruhan seorang perempuan. Kepalanya dikebumikan di Damsyiq, Suria.

24. Nabi Isa as. 
Lahir tanpa ayah, atas kehendak Allah swt. Tinggal di Bumi selama 33 tahun, kemudian diangkat ke hadirat Allah 3 tahun setelah kerasulannya.

25. Nabi Muhammad saw.
Lahir di Mekkah pada Tahun Gajah. Meninggal pada umur 63 tahun. Dikebumikan di rumah Istrinya, Sayyidatina Aisyah ra, Masjid Nabawi, Madinah Al Munawwarah.

Wallahu A'lam bishshawab.

Dikutip dan diterjemah dari: http//vb.elmstba.com

(Abrar Rifai)
Perang Salib [bagian 2]

Perang Salib [bagian 2]



Ada beberapa penafsiran tentang berapa kali Perang Salib itu terjadi. Batas antara Perang Salib yang satu dengan yang lainnya secara pasti tidak dapat ditentukan. Menurut K. Hitti tiga kali, menurut Shalaby tujuh kali, sedangkan menurut Sa'ad Abd Fatah 'Asyur delapan kali. Karena itu, untuk memastikan kebenarannya, perlu penelitian lebihn lanjut. Saya akan menguraikan apa yang ditulis Syalaby.

Perang salib I   [Baca Juga Perang Salib Bagian 1]

Ide Perang Salib I bersumber dari pidato Paus Urban II pada tahun 1095 di Clermont, daerah tenggara Prancis. Ia menganjurkan perang suci melawan kaum muslimin di Timur dengan satu teriakan: "Inilah kehendak Tuhan" (Deus vult). Hal ini sebagai hasil pendekatan berkali-kali kepada Paus Urban II oleh Emperor Alexius Comnenus yang posisinya sedang terdesak di Asia kecil oleh dinasti Saljuq. Pada tahun 1097 sebanyak 150.000 orang, sebagian besar dari Jerman dan Normandia, dikerahkan dalam tiga angkatan di bawah pimpinan Raja Godfrey, Raja Bohemond, dan Raja Raymond. Mereka bertemu di Konstantinofel.

Tetapi, tampaknya tidak semua raja di Eropa menopang gerakan salib ini. Dalam pertemuan bersejarah di Clermont itu, ada juga yang tidak hadir untuk menyatakan keikutsertaannya. Dari semula Paus Urban II merasa perlu dukungan dari kekuatan sekular. Para uskup bersidang dan mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa setiap yang turut serta dalam perang suci akan mendapatkan pengampunan dosa dan kekayaan para bangsawan selama berperang dalam pengamanan gereja. Sidang itu juga menghasilkan kesepakatan, sebagai simbol gerakan, bahwa pakaian setiap orang yang turut berperang akan diberi tanda salib merah pada bagian pundak dan punggung dan gerakan diarahkan menuju Konstantinofel. Keputusan lainya, siapa saja yang pulang tanpa menunaikan tugasnya akan menerima hukuman dari gereja.

Angkatan Perang Salib I ini terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh Raja Godfrey of Bouillon dari Lorraine dan saudaranya, Baldwin. Kelompok kedua dipimpin oleh Bohemond dari Normandia. Dan, angkaan ketiga dipimpin oleh Raymond IV dari Provinve, yang didampingi utusan pribadi Paus, Uskup Adheman. Di samping itu, Raymond memperingatkan Paus akan pentingnya bantuan dari Genoa, yaitu bantuan angkatan lautnya. Akhirnya, Gemoa memberikan bantuan dua belas kapal perang untuk menopang Perang Salib ini. Karena itu, Genoa mendapat hak atas pelabuhan-pelabuhan Syiria.

Ketiga kelompok tentara Salib tersebut, setelah sampai di Konstantinofel, harus tunduk kepada pimpinan dan komando Kaisar Alexius Comenus. Pada mulanya ada perlawanan terutama dari Godfrey dan Raymond. Namun, akhirnya mereka terpaksa tunduk kepada kekuasaan Bizantium. Di samping itu, Kaisar Bizantium dapat memaksakan suatu perjanjian: "Setelah menaklukan daerah-daerah di Asia Kecil dan dan di Syam, para raja harus mengembalikan daerah-daerah bekas kekuasaan Bizantium yang di rebut oleh Saljuq".

Dari fakta-fakta tersebut nampak bahwa pihak Bizantium Timur, Alexius, cukup berpengalaman dalam memaksakan keinginannya mempertahankan daerah-daearah jajahannya. Dari pihak raja-raja juga sebenarnya hendak mendirikan pemerintahan masing-masing. Perlawanan terhadap kekaisaran Bizantium dibalas dengan pemboikotan bahan makanan, sehingga mereka tidak berdaya menghadapi Kaisar Alexius itu, seperti terjadi terhadap Godfrey. Peselisihan Emperor dengan Raymond tidak setajam dengan Godfrey karena dapat diredakan oleh utusan Paus, Adhemar. Namun, perselisihan ini berlanjut ampai raja-raja mengingkari janjinya. Ini merupakan kelemahan pihak tentara Salib, sehingga Paus menjadi kecewa.

Pada permulaan 1097 tentara Salib mulai menyeberangi Selat Bosforus bagaikan air bah. Mereka berkemah di Asia Kecil yang ketika itu dikuasai oleh Dinasti Saljuq, Qolej Arslan. Mula-mula mereka mengepung pelabuhan Naicaea selama sebulan sampai jatuh ke tangan tentara Salib pada tanggal 18 Juni 1097. Ini berarti Bizantium telah merebut kembali apa yang telah dikuasai dari Antioch selama enam tahun. Tentara Bizantium di bawah pimpinan Emperor mengadakan perundingan dengan penguasa kaum muslimin seputar penyerahan kota itu kepadanya, dengan jaminan muslim Turki akan diselamatkan. Hal ini mengejutkan tentara Salib karena merasa kalah cepat oleh kelihaian Emperor.

Tentara Salib terus maju. Pertempuran di Darylaeum (Eski-Shar) meluas ke tenggara Nicaea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan karena Saljuq dalam keadaan lemah. Mereka berhsil memasuki selatan Anatolia dan Provinsi Torres. Di bawah pimpinan Baldwin, mereka mengepung Ruha, yang penduduk Armenianya beragama Kristen. Rajanya, Turus, telah melantik Baldwin untuk menggantikannya setelah ia mati, sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha pada tahun 1098.

Bohemond menaklukan Antioch, ibu kota lama Bizantium, pada tanggal 3 Juni 1098 setelah susah payah mengepungnya selama sembilan bulan. Antioch termasuk benteng yang sangat kuat karena secara geografis sangat strategis--setelah konstantinofel-- dengan gunung-gunungnya yang mengelilingi sebelah utara dan timur, dan sungai yang membatasinya. Jatuhnya Antioch dari Yagi Sian (Saljuq) disebabkan oleh berpecah-belah dan lambatnya bantuan dari Salajiqoh Persia (Karbugha), serta terjadinya pengkhianatan di dalam Antioch sendiri oleh bangsa Armenia yang tentu memihak Kristen. Bantuan logistik dan perlengkapan dari Inggris dan armada laut Genoa yang tiba di pelabuhan Suwaida semakin memperkuat tentara Salib.

Bahemond telah menunjukan keberaniannya yang luar biasa. Ketika tentara Salib mengalami krisis dalam pengepungan Antioch ini, ia pura-pura bersedia pulang ke Italia. Dengan sendirinya tentara meminta-minta agar tidak ditinggalkan oleh pemimpinnya, terutama pada saat yang kritis, ketika mendapat serangan tentara gencar dari tentara Saljuq. Ia menuduh panglima Bizantium, Titikios, telah mengkhianati tentara Salib karena mengadakan hubungan rahasia dengan penguasa Saljuq-Turki untuk menghancurkan tentara Salib. Hal ini menyebabkan kemarahan tentara Salib meluap-luap. Akhirnya, Tatikios dengan tentaranya lari melalui pelabuhan Suwaida ke Pulau Cyprus karena takut dibunuh tentara Salib. Nampaknya kali ini Bahemond berhasil menempatkan dirinya sebagai satu-satunya panglima-- setelah mendapat pengalaman menghadapi kaki tangan Emperor di Nicaea--sehingga ada alasan untuk tidak menyerahkan Antioch kepada Emperor Bizantium. Di sini nampak persaingan kekuasaan antara Bizantium dan raja Eropa.

Setelah penaklukan Antioch, Bohemond dapat menguasai daerah-daerah sekitarnya. Raymond menguasai sebelah barat daya Antioch dan tidak mau menyerahkannya kepada Bohemond, karena sebenarnya ia pun berambisi menguasai seluruh Antioch. Krisis ini baru bisa diselesaikan setelah Raymond diserahi pimpinan untuk penyerangan ke Yerusalem, karena ia mempunyai peluang untuk menguasai daerah yang lebih luas di tanah suci itu. Akhirnya, Antioch berada di bawah kekuasaan Kristen selama kurang lebih seperempat abad.

Dalam perjalanan ke Baitul Maqdis, Raymond mengadakan hubungan kerja sama dengan amir-amir Arab, antara lain dengan Muwaranah yang memberikan bantuan kepada tentera Salib. Pemerintah Tripoli dan Beirut juga memberikan bantuan kepada tentara Salib, mungkin karena Solidaritas agamanya lebih diutamakan daripada tanah airnya, atau karena tidak tunduk kepada tentara Turki. Dalam tempo satu bulan, Yerusalem sudah dapat direbut pada tanggal 15 Juli 1099. Kekalahan kaum muslimin Dinasti Fatimiyah yang menguasai Bait al-Maqdis sudah dapat dipastikan, karena kota-kota penting yang merupakan pintu gerbang satu-persatu telah ditaklukan. Jumlah tentara Salib jauh lebih banyak daripada tentara Fatimiyah, yaitu 40.000 orang (20.000 orang merupakan tentara terlatih).

Penaklukan Bait al-Maqdis oleh tentara Salib diwarnai dengan pembantaian yang tak pandang bulu (indiscriminate massacre). Kaum muslimin--meliputi semua umur dan jenis yang tak berdaya--dibantainya. K. Hitti menuliskan, "Heaps of heads and hand feet were to be seen throughout the street and squares of the city." Para ahli sejarah mencatat jumlah korban pembantaian itu sekitar 60.000--100.000 orang lebih. Peristiwa yang kejam ini (jika dibandingkan dengan penaklukan Shalahuddin al-Ayyubi dalam merebut kembali Bait al-Maqdis) tentu menimbulkan pertanyaan, "Benarkah motivasi agama (Kristen) menjiwai perang ini?"

Akhirnya misi tentara Salib tercapai, yaitu merebut Bait al-Maqdis dan berhasil mendirikan pemerintahan, masing-masing Baldwin memegang tampuk kekuasaan di Ruha (1098), Bohemond menguasai pemerintahan di Antioch, dan Godfrey menjadi penguasa di Yerusalem, karena Raymond tidak terpilih menjadi penguasa di sana. Godfrey meninggal dunia dan digantikan saudaranya, Baldwin I, tanpa ada yang menyaingi karena Bohemond ditawan Raja Al-Ghazi Kamusytakin Turki.

Meskipun Yerusalem telah dikuasai, peperangan di Syam terus berlangsung. Raja Yerusalem menyerahkan kepemimpinan kepada Raymond (1101) untuk menaklukan Tripoli di Syam. Kaum muslimin di Tripoli dapat mempertahankan pengepungan Salib selama delapan tahun. Pada tahun 1109, Tripoli jatuh ke tangan tentara Salib, tetapi Raymond tidak sempai menyaksikan kejatuhan kota itu karena meninggal dunia (1105) ketika pengepungan mencapai puncaknya. Ia digantikan oleh Wiliam Yordan, yang meninggal dunia pada tahun 1108. Wiliam kemudian diganti oleh Bertrand. Pada zaman Bertrand, Tripoli dapat ditaklukan. Kota-kota penting lain yang ditaklukan ialah Akka (ditaklukan pada tahun 1104) dan Sur (ditaklukan pada tahun 1124).

Bersambung?!

Sumber: Gerakan Kembali ke Islam; Warisan Terakhir A. Latief Mukhtar, K.H. Abdul Latief Mukhtar, M.A.
Sejarah Singkat Imam Hanbali

Sejarah Singkat Imam Hanbali


Nasab dan Kelahirannya
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.

Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. 

Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, [baca juga sejarah singkat imam malik] tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.

Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.

Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. 

Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. 

Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.


Sejarah Singkat Imam Syafi'i

Sejarah Singkat Imam Syafi'i

Imam Syafii

Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
 

Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
 

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. 

Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
 

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
 

Wafatnya

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
 

Karangan-Karangannya

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
 
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
 
Baca Juga Sejarah Singkat Imam Malik dan Imam Hanafi

Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon