Memahami Persoalan Itu Setengah Dari Jawaban

Memahami Persoalan Itu Setengah Dari Jawaban

Hajar Dulu Baru Konfirmasi

Saya masih ingat betul, ketika ada teman satu kelas dahulu bertanya kepada dosen aqidah; “Ma hukmu as-shalawat al-munjiyat, ya Syeikh?”, Apa hukum dari shalawat munjiyat, wahai Syeikh?.
“Syirik”.
Sebuah jawaban yang singkat, padat, jelas dan tanpa pikir panjang. Tentu jika penanyanya orang awam, hanya akan manggut-manggut saja mengiyakan. Bagaimana tidak, penjawabnya seorang Syeikh Arab yang bahasa Indonesia saja tak bisa, sekaligus seorang dosen akidah.

Redaksi Shalawat Munjiyat

Hanya saja, teman saya ini menanyakan lebih lanjut. “Bukankah tawassul kapada Allah dalam berdoa dengan amal shalih itu sesuatu yang disyariatkan?”
“Maksudnya” Selidik Syeikh tadi.
“Dalam shalawat munjiyat, kita tawassul bukan dengan dzat Nabi tapi dengan shalawat kepada Nabi. Dan shalawat kepada Nabi itu termasuk amal shalih”. Terang teman saya.
kaifa nasshuhu?, bagaimana redaksi shalawatnya?” Tanya dosen kami.
“Redaksinya seperti ini, Syeikh!”
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد، صلاة تنجينا بها من جميع الأهوال والآفات، وتقضي لنا بها جميع الحاجات، وتطهرنا بها من جميع السيئات، وترفعنا بها عندك أعلى الدرجات، وتبلغنا بها أقصى الغايات، من جميع الخيرات في الحياة وبعد الممات، برحمتك يا أرحم الراحمين.
Arti mudahnya, ya Allah! shalawat dan salam tercurah semoga kepada Nabi Muhammad. Sehingga dengan shalawat itu, Engkau selamatkan kami dari segala mara bahaya, dst.
Nah, ternyata belum tahu redaksi shalawatnya sudah menghukuminya dengan “syirik”.

Tawassul dengan Amal Shalih itu Disyariatkan

Menjadi hal yang disepakati para ulama, bahwa salah satu bentuk tawassul dalam do’a yang boleh adalah tawassul  dengan amal shalih. Sebagaimana dahulu cerita 3 orang yang tertutup batu besar ketika sedang berada di goa. (Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Qaidah Jalilah fi at-Tawassul wa al-Wasilah, h. 305).
Tentu shalawat adalah termasuk salah satu amal shalih, bahkan bukankah doa itu terhalang sebelum dibacakan shalawat?

Dari Syirik ke Bid’ah

idzan, bid’atun”, kalo begitu bid'ah hukumnya.
Ketika mengetahui jawaban teman saya tadi, seketika Syeikh kami mengganti hukumnya menjadi bid’ah.
Alasannya karena model shalawat itu tak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallaallah alaihi wasallam.

Membatasi Sesuatu Tanpa Ada Dalil

Hanya saja, benarkah hanya satu redaksi shalawat yang diajarkan Nabi?
Memang benar dahulu Nabi pernah ditanya bagaimana bershalawat kepada Beliau. Haditsnya sebagai berikut:
عن الحكم، قال: سمعت ابن أبي ليلى، قال: لقيني كعب بن عجرة، فقال: ألا أهدي لك هدية خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلنا: قد عرفنا كيف نسلم عليك فكيف نصلي عليك؟ قال: «قولوا اللهم صل على محمد، وعلى آل محمد، كما صليت على آل إبراهيم، إنك حميد مجيد، اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد، كما باركت على آل إبراهيم، إنك حميد مجيد» متفق عليه
“Suatu ketika Nabi keluar kepada kami, lalu kami bertanya, “Kita sudah tahu bagaimana salam kepada Engkau, wahai Nabi. Lantas bagaimanakah kita bershalawat kepada Engkau?.
Jawab Nabi, “Allahumma shalli ala Muhammad, wa ala ali Muhammad, kama shallaita ala ali Ibrahim innaka hamidun majid. Allahumma barik ala Muhammad wa ala ali Muhammad, kama barakta ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid”. (Muttafaq alaih)
Justru pertanyaannya dibalik, adakah dalil yang membatasi shalawat hanya dengan redaksi itu? Apakah salah dan menyelisihi Nabi jika shalawat tidak dengan redaksi itu?

Nabi Diam Sampai Shahabat Lain Berharap Pertanyaan itu Tak Terlontar

Ternyata para ulama tak ada satupun yang membatasi shalawat hanya dengan redaksi yang diajarkan oleh Nabi. Buktinya, hampir semua kitab turots atau klasik yang kita baca, redaksi shalawatnya sangat beragam.
Bahkan dalam riwayat lain yang shahih juga disebutkan bahwa, ketika Nabi mendapat pertanyaan itu, Nabi diam saja. Sampai para shahabat lain berharap, pertanyaan itu tak terlontar dan ditanyakan kepada Nabi. Disebutkan dalam Shahih Muslim:
عن أبي مسعود الأنصاري، قال: أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن في مجلس سعد بن عبادة، فقال له بشير بن سعد: أمرنا الله تعالى أن نصلي عليك يا رسول الله، فكيف نصلي عليك؟ قال: فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم، حتى تمنينا أنه لم يسأله ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «قولوا اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين، إنك حميد مجيد، والسلام كما قد علمتم» صحيح مسلم (1/ 305) سنن أبي داود (1/ 258) سنن الترمذي ت شاكر (5/ 359)
"Bisyir bin Said bertanya kepada Nabi, “Allah memerintahkan kita bershalawat kepada Engkau. Bagaimana kita bershalawat kepada Engkau, ya Rasulallah?”
Nabi diam saja. Sampai kita berharap Bisyir bin Said tak menanyakan hal itu. Sehingga Rasulullah bersabda: Ucapkanlah; allahumma shalli ala Muhammad... al-hadits.” (HR. Muslim, HR. Abu Daud, HR. At-Tirmidzi).
Tentu banyak tafsiran kenapa Nabi diam saja saat ditanya, dan para shahabat berharap pertanyaan itu tak jadi terlontarkan. Salah satunya adalah shalawat itu luas redaksinya, tak harus ditanyakan dan mengikuti satu redaksi saja. 
Maka, memahami suatu persoalan itu sangat penting sebelum menjawab hukumnya. Banyak orang salah jawab karena salah memahami soal atau pemasalahan.
Banyak kasus bid'ah menjadi perdebatan sengit bukan dalam kaitan dalil ataupun hukumnya. Tetapi lebih kepada perbedaan pemahaman (ta'rif dan takyif syar'i) terhadap sesuatu hal yang baru itu; apakah masuk dalam dalil umum agama sehingga boleh hukumnya atau sudah keluar dari koridor agama sehingga haram.
Termasuk perdebatan siapakah pihak yang paling berhak dan mendapat legitimasi dari Allah subhanahu wa ta'ala memegang serta memberi "stempel" bid'ah yang haram terhadap suatu hal yang baru. Waallahu a'lam bisshawab. *Sumber rumahfiqih

Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>