Tragedi Masa Lalu yang Terasa Lucu di Kemudian Hari
Ibrah RenunganOleh: Ita Nurita
“Hidup yang dipandang tragedi dahulu, bisa jadi sekarang menjadi komedi.” (Charly Caplin) Qoute ini saya dapatkan dari webinar yang diselenggrakan komunitas Kovid Psikologi.
Bahasannya seputar psikologi dan tips agar bisa tetap mengaktualisasi diri meski di era pandemi dan krisis yang tidak pasti kapan berakhirnya. Ada banyak kata kunci yang saya catat. Tapi kali ini, saya tertarik menulis tentang qoute Charly C
aplin di atas. Apa maknanya menurut Anda? Apa maknanya menurut saya? Bisa jadi jawabannya berbeda, tergantung pengalaman dan perasaan masing-masing.
Pernah mengalami tragedi di masa lalu adalah pengalaman pahit kebanyakan orang. Tapi tak semua mengakui bahwa sebuah tragedi itu selalu pahit, berat, dan penuh luka. Meski namanya tragedi, konotasinya memang sebuah kepahitan. Tragedi masa lalu bisa berhubungan dengan banyak orang atau lingkungan. Seperti permusuhan antar sahabat, perpisahan antar pasangan, perseteruan antar saudara, dan banyak lagi kasus lainnya.
Dulu, situasi semacam ini bisa membuat kita terpuruk, down, jatuh atau bahkan mengalami kesedihan yang dalam. Sejak usia 12 tahun, saya sudah menjadi yatim. Akibatnya saya tidak bisa kuliah sebagaimana teman-teman lainnya. Sementara menganggur, saya diajak ke Samarinda oleh om dan tante dari jalur ibu.
Tinggal menumpang pada orang lain bukan sesuatu yang saya senangi. Saya merasa tidak merdeka Saya merasa tidak bebas untuk menentukan masa depan, termasuk urusan jodoh. Saya menolak tawaran jodoh dari keluarga besar om.
Sayangnya, keputusan ini mendatangkan fitnah. Saya dianggap membangkang. Padahal waktu itu, saya hanya ingin pasangan yang lebih baik dari saya. Apalagi saat itu saya begitu semangat setelah ngaji pada seorang ustadzah yang kami sebut murobbiyah. Rupanya penolakan tersebut membuat keluarga besar menjadi kecewa.
Apalagi Om yang menunjukkan perhatian lebih pada saya dengan niat mengasuh anak yatim dan membuat anak-anak beliau cemburu pada saya. Tak ayal, anak-anak Om pun terkesan memusuhi saya. Tragedi inilah yang membuat saya, pada waktu itu, benar-benar sedih. Saking sedihnya, saya harus menenangkan diri di rumah teman ngaji selama berhari-hari.
Tak terasa, 25 tahun berlalu. Cerita itu jadi kenangan. Saya merasa, cerita masa lalu itu kadang terasa lucu kalau diingat-ingat. Begitu pula cerita kita dengan sahabat, saudara, dan lainnya.
Pada saat itu kemarahan, kebencian, dan sakit diekspresikan dengan berbagai cara. Andai bisa ditulis seperti saat ini, tentu akan menjadi cerita lucu di kemudian hari. Tidak hanya kelucuan tragedinya, tapi juga kelucuan cara menulisnya. Jadi, biarkan cerita itu terjadi hari ini.
Kelak kita saling menertawakan diri sendiri. Kalau ini terjadi saat kumpul-kumpul di dunia, bagaimana nanti kisah keadaan kita di akhirat ya?
Semoga Allah karuniakan kita untuk bisa reuni akbar di surga dengan berbagai cerita lucu tragedi semasa di dunia.
sumber : orangramai
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>