Buya Hamka, nama ini bukan hanya dikenal sebagai ulama besar
Nusantara, melainkan juga sebagai sastrawan, budayawan, politisi,
cendikiawan, dan tokoh masyarakat. Ketokohan serta keagungan karyanya
membuat banyak orang tertarik untuk membaca dan meneladani kisah
hidupnya yang penuh inspirasi.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
julukan Hamka lahir di Desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatra Barat, pada
17 Februari 1908 M. /13 Muharram 1362 H.
Hamka juga biasa dipanggil Buya, yaitu panggilan orang Minangkabau
yang berasal dari kata abi-abuya dalam bahasa Arab, yang berarti Ayahku,
atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya bernama Syaikh Abdul Karim bin Amrullah, yang di kenal
sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor gerakan Islam di Minangkabau,
sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Sebagi seorang Ulama besar, Buya Hamka banyak mempelajari dan
mendalami berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik ilmu tentang ke-Islaman maupun
pemikiran Barat. Hamka juga aktif dalam perpolitikan di Indonesia.
Masa Kecil
Abdul Malik adalah nama kecil dari Buya Hamka. Hamka adalah anak
sulung dari empat bersaudara dalam keluarga Syaikh Abdul Karim Amrullah.
Masa kecil Hamka dipenuhi gejolak batin, karena saat itu terjadi
pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang
pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam
Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Hamka muda yang ketika itu berusia empat tahun bersama orangtuanya pindah ke Padang. Ia melewati masa kecil di rumah neneknya.
Bersama teman-teman sebaya, Hamka kecil menghabiskan waktu bermain di
Danau Maninjau. Kebiasaan Hamka kecil adalah belajar mengaji
di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal.
Dia belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Dia sempat mendapatkan
pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca saat masuk ke Sekolah
Desar pada tahun 1915.
Perjalanan Haji
Di awal Buya Hamka naik haji ke Makkah Al-Mukarramah pada tahun
1927. Buya berjalan kaki dari Bayua Maninjau menuju Bukittinggi lewat
Kelok 44. Kemudian meneruskan perjalanan dengan kendaraan ke
Padang. Dari Teluk Bayur naik kapal ke Sibolga dan selanjutnya naik
kendaraan pula menuju pelabuhan Belawan Medan lewat Pematang Siantar.
Di pelabuhan inilah Buya naik kapal Karimata milik
Stoomavart Maatschappij Nedherland selama 16 hari perjalanan menuju Jeddah Saudi Arabia, dengan bekal uang 500 Gulden.
Demikian panjang dan beratnya perjalanan Buya Hamka untuk menunaikan ibadah haji pada awal-awal abad ke-20 ini.
Bila kita baca buku
Di Bawah Lindungan Ka’bah karangan Buya
Hamka atau menonton filmnya, maka terlihat jelas bagaimana sulitnya dulu
untuk mencapai Tanah Suci itu. Angkutan hanya dengan kapal yang memakan
waktu sekitar tiga bulan.
Karena kapalnya belum secanggih sekarang maka banyak pula di
antaranya yang rusak dan tenggelam dalam perjalanan. Banyak di antara
mereka yang sakit di atas kapal atau sakit dan meninggal di Tanah Suci
sehingga tidak bisa pulang lagi.
Begitu juga di zaman kolonialisme Belanda, di mana jamaah haji itu
diawasi dengan sangat ketat. Konon mereka yang telah pulang dari haji
akan diuji dulu oleh Belanda dan yang lulus akan diberi sertifikat.
Barulah mereka berhak memakai atribut haji seperti sorban, songkok haji,
kafieh dan memakai gelar H. alias Haji.
Hamka, selama di Mekkah, menjadi koresponden Harian Pelita
Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan
Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi. Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab
klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab.
Perjuangan Buya
Pada Juli 1924, Hamka memulai perjalanannya ke Pulau Jawa. Ia
mengungkapkan keinginannya dan meminta restu kepada ayahnya untuk
merantau, berjanji akan belajar agama kepada Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Dalam perhentian pertama di Yogyakarta, Hamka bertemu dengan pamannya
Jafar Amrullah. Ia pun diperkenalkan dengan Sarekat ISlam (SI) dan
bergabung menjadi anggota. Ia mengambil waktu belajar kepada Bagoes
Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Fakhruddin dan
Suryopranoto, serta melalui berbagai pergerakan umat Islam,
Sekembali dari tanah Jawa, Hamka aktif dalam kepengurusan
Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari
perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925
di Sungai Batang.
Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.
Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka
tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya.
Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai
akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930,
disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan
untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.
Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar
dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk
menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.
Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan
Al-Mahdi, majalah
pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun
setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi
anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera
Tengah.
Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan.
Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam
tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan
Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.
Selama di Medan, ia juga bekerja sebagai editor sekaligus menjadi
Pemimpin Redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang didirikannya
bersama M.Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.
Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan
melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi
Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia pegang hingga tahun 1949.
Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah
dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia
selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada
tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa
uzur. Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat
Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan Pengawal Nagari
dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pegunungan di Sumatera Barat untuk
menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda.
Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat
pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di
jalur politik.
Dalam Pemilihan Umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil
Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam
perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Maysumi menentang
komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan
Soekarno.
Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang
menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani
mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis
fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya
berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik
kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau
akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang
dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan
tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu.
Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan
Lekra.
Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya
ke tahanan Sukabumi. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia justru
merampungkan karya buku monumentalnya, Tafsir Al-Azhar.
Seiring dengan peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden
Soeharto, Hamka dibebaskan pada Januari 1966. Ia pun mendapat ruang
pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan
waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar Jakarta.
Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pada 1975, peserta musyawarah memilih Buya Hamka sebagai Ketua Umum
MUI. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981,
menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas
perayaan Natal bersama bagi umat Muslim.
Saat itu Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa dicabut.
“Gemetar
tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang
saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah
bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka.
Keteguhannya memegang prinsip, itulah yang diyakini membuat semua orang menyeganinya.
Karya Tulis
Sepanjang hidupnya Buya Hamka tidak hentinya menulis dan berpidato,
menghasilkan sekitar 100 buah buku, ratusan makalah, essay dan artikel
yang tersebar dalam media massa seperti Pedoman Masyarakat, Aliran
Islam, Suara Partai Masyumi, Hikmah, Mimbar Agama, Panji Masyarakat dan
banyak lagi.
Seluruh ceramah, pidato, khotbah dan karya tulisnya dilandasi oleh substansi semangat ke-Islaman yang demikian prima.
Salah satu karya tulis terbesarnya adalah Kitab Tafsir Al-Azhar,
Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang
dihasilkan Buya Hamka semasa hidupnya. Tafsir tersebut ditulisnya pada
1960.
Selain kitab tafsir, Hamka juga meninggalkan berbagai macam karya
tulis, di antaranya tentang politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga
Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah
Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi),
akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu ke-Islaman
(Tashawwuf Modern).
Hamka juga banyak menghasilkan karya lain seperti novel dan cerpen.
Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa
Minang dengan judul
Si Sabariah, kemudian, ia juga menulis
buku-buku lain, baik yang berbentuk Roman,
Sejarah, Biografi dan Otobiografi, Sosial Kemasyarakatan, Pemikiran dan
Pendidikan, Teologi, Tasawuf, Tafsir, dan Fiqih.
Di antara novel-novelnya yang terkenal hingga sekarang antara lain
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
Di Bawah Lindungan Ka’bah. dan
Merantau ke Deli
juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra
di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia
terima, baik tingkat nasional maupun internasional.
Mengenai kemampuan dan kedalaman ilmunya dalam agama Islam serta
kehalusan bahasa sastranya, Buya Hamka dengan kemampuan bahasa Arab yang
dipelajarinya, lebih banyak mempelajarinya secara
otodidak, alias belajar sendiri.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa
dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, atas jasa-jasanya dalam
penyiaran agama Islam dengan menggunakan baha Melayu. Kemudian pada 6
Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan Doktor dari
Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar
guru besar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta.
Akhir Hayat
Setelah mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI pada 19 Mei 1981,
kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter
keluarga, ia diopname di Rumah Sakit Pertamina pada 18 Juli 1981, yang
bertepatan dengan awal Ramadan.
Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan shalat Dhuha dengan
bantuan puterinya, Azizah, untuk bertayammum. Siangnya, beberapa dokter
datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada
dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam
harinya.
Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya
sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan
dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya,
anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka
menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.
Pada hari mulia Jum’at, bulan mulia 21 Ramadhan, bertepatan dengan 24
Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun, Bya Hamka wafat,
dipanggil ke haribaan-Nya. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan
Raden Fatah III Jakarta.
Pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dinantaranya
Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara
Lingkungan Hidup Emil Salim, serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang
menjadi imam shalat jenazahnya.
Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan dishalatkan lagi, dan
kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir,
Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.
“Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar, ”
komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di pekuburan.
Buya Hamka, walaupun jasadnya telah tiada, namun semangat juangnya,
ceramah-ceramahnya yang menyentuh serta karya-karya bukunya yang
menginspirasi, masih terasa hingga kini
Sumber :
mirajnews